172. Jawaban Yesus (Lukas 20:34-38)
(bacalah terlebih dulu teks di atas!)
Orang-orang dunia ini – 20:34
Ungkapan ‘orang-orang dunia ini’ (TB); orang-orang yang hidup sekarang (BIS); yang dalam bentuk serupa dipakai Lukas dalam 16:8b, searti dengan “manusia dalam kondisinya di bumi ini.”
Mula-mulanya Luk menegaskan kontras tajam antara orang-orang dunia ini (dunia kita) dan “mereka yang dipandang layak mencapai dunia kekal” (dunia yang akan datang).
Para penulis sastra apokaliptik (yang mulai berkembang dalam abad II sM) membagikan sejarah atas dua periode, yaitu 1. Dunia ini, dunia sekarang, dunia kedosaan yang harus berakhir dengan datangnya Mesias, dan, 2. Dunia mendatang yang sempurna. Jadi, kedua dunia itu saling berlawanan, sebab termasuk waktu yang berbeda dan berkualitas berbeda.
Sesungguhnya, ungkapan orang-orang dunia ini tidak dengan sendirinya negatif, sebab mengacu kepada suatu situasi saja: Manusia berada di dunia ini karena pernah dilahirkan. Tetapi, masuknya ke dalam “dunia lain: tergantung dari kondisi moral. Dunia lain itu hanya akan dapat dimasuki orang-orang yang dianggap layak menerimanya. Jadi, Lukas menyibukkan diri hanya dengan nasib oran-orang benar (inilah salah satu pokok perhatian Kitab Suci pada umumnya!). Lewat berbagai kata yang dipakainya dalam teks ini, Luk berusaha mengimbau para pembaca kitabnya, agar mereka berbuat apa saja, supaya terhitung ke dalam kelompok orang benar itu.
Mereka yang dipandang layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang-orang mati 20:35 – Berdasarkan analisis yang teliti terhadap nas-nas Kitab Suci telah disimpulkan bahwa “ujian” yang akan menentukan layaknya manusia masuk ke dalam dunia yang akan datang, tergantung dari cara manusia menanggung cobaan-cobaannya dalam persatuan dengan Kristus.
Ungkapan dipandang layak muncul hanya dua kali dalam PB, dan tidak pernah dalam PL. Untuk pertama kalinya sehubungan dengan rasul-rasul yang meninggalkan Mahkamah Agama Yahudi “dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus” (Kis 5:41). Untuk kedua kalinya dalam 2Tes 1:5, ketika Paulus berbicara tentang penghakiman Allah yang “menyatakan bahwa kamu layak menjadi warga Kerajaan Allah, kamu yang sekarang menderita karena Kerajaan itu.”
Jadi, lewat ungkapan ini Luk menghimbau umat Kristen untuk menyangkal diri demi menemukan sukacita dalam Yesus, untuk terus-menerus menghayati sengsara Yesus demi ikut serta kelak dalam kebangkitan-Nya. Setelah masuk ke dalam dunia ini lewat kelahiran, manusia harus melewatinya dalam persekutuan dengan Yesus lewat salib dan kebangkitan untuk mendapat hidup baru. Himbauan ini mengacu kepada sikap siap menggapai derita dan kematian demi memperoleh keselamatan ataupun kebangkitan.
Lukas ingin menyadarkan pembacanya bahwa tidak ada guna membayangkan dunia yang akan datang itu untuk mengetahui bagaimana bentuk “fisik”nya. Satu-satunya hal yang perlu diketahui ialah bahwa dunia itu sama sekali lain dan bahwa untuk masuk ke dalamnya, manusia perlu melewati kematian bersama Yesus Kristus. Ciri khas dunia baru ialah jenis kehidupan baru yang tidak akan musnah lagi. Namun, dunia baru itu tidak mungkin dibayangkan!
Dipandang layak berbentuk pasif, sehingga mengacu kepada Allah: Dialah yang menentukan apakah manusia layak memasuki dunia baru.
Tidak kawin dan tidak dikawinkan – 20:35
Alasannya satu saja, yaitu: Di dunia yang akan datang itu manusia tidak mati lagi, sehingga pelestarian ras (yang begitu dipentingkan oleh bangsa Yahudi!) tidak masuk perhitungan lagi.
Mereka sama seperti malaikat-malaikat – 20:36
Dalam ayat ini Lukas menggunakan kata is-aggelos (harfiah: sederajat dengan para malaikat) yang tidak ada dalam bahasa Yunani. Dapat diduga bahwa Luk mau menyadarkan pembaca berbudaya Yunani yang meragu-ragukan kebangkitan badani, agar mereka jangan memikirkan roh-roh murni ataupun “jiwa-jiwa yang terpisah (dari badan).”
Mereka adalah anak-anak Allah karena mereka telah dibangkitkan – 20:36
Lukas suka mengungkapkan perenungannya lewat dua kalimat yang saling melengkapi. Tadi ia sudah menegaskan bahwa setelah memasuki dunia baru, harapan manusia akan dipenuhi, sesuai dengan Kitab Suci. Tetapi, dalam kalimat ini, ia justru mau mengatakan bahwa harapan manusia itu akan dilampaui: manusia akan menerima lebih daripada yang diharapkannya!
Di dunia yang akan datang, manusia bukan hanya akan berada dalam kehadiran Allah, bukan hanya sujud menyembah-Nya seperti para malaikat, melainkan akan berelasi akrab dengan-Nya sebagai anak-anak-Nya, serupa dengan Putra-Nya sendiri. Hal ini secara khusus suka ditegaskan oleh Rasul Plaulus (Ef 1:5; Gal 4:5-7; Rom 8:14+).
Mengapa manusia akan menjadi anak-anak Allah? Alasannya – menurut Lukas – satu, yaitu selaku putra-putra (demikianlah terjemahan harfiahnya!). Ungkapan aneh ini sangat tua usianya, sehingga mungkin saja berasal dari Yesus sendiri atau setidak-tidaknya tercipta dalam lingkungan yang sehari-hari berbahasa Aramea (yang dipakai oleh Yesus).
Luk sangat menekankan masalah kebangkitan, sebab para pembaca kitabnya yang berbudaya Yunani sulit menerima adanya kebangkitan (1Kor 15), dan karena kebangkitan adalah saat peralihan kepada kehidupan Allah. Yesus sendiri dijadikan Putra Allah justru lewat kebangkitan-Nya dari antara orang mati, seperti dikatakan dalam Rom 1:4. Selaku Mesias (anak Daud), Yesus diangkat menjadi Tuhan dunia. Selaku Sabda yang menjelma, selaku manusia, kebangkitan Yesus menjadi saat peralihan-Nya kepada Hidup yang sejati. Renungan ini diteruskan oleh Paulus sebagai berikut, “Kalau kita sudah menjadi satu dengan Kristus sebab kita turut mati bersama Dia, kita akan menjadi satu dengan Dia juga karena kita turut dihidupkan kembali seperti Dia” (Rom 6:5), dan, “Kita turut mati bersama-sama Dia, supaya sebagaimana Kristus dihidupkan dari kematian oleh kuasa Bapa yang mulia, begitu pun kita dapat menlalani suatu hidup yang baru” (Rm 6:4).
Dengan memberi jawaban ini, Yesus tidak terjebak dalam sebuah kasus konkret yang dikemukakan oleh orang-orang Saduki. Ia justru mulai bicara tentang sesuatu yang amat fundamental dalam iman! Memang, Ia tetap tidak berbicara tentang “bagaimana” hidup kekal itu nanti. Namun, Ia dengan jelas menegaskan bahwa hidup itu: 1. Baru sama sekali; 2. Tak terbayangkan, 3. Berlangsung dalam kehadiran ilahi dan sembah sujud (seperti hidup para malaikat), namun, 4. Tersedia bagi anak-anak Allah. Maka, untuk dianggap layak menjalani hidup itu, manusia harus mau melewati hidup ini bersama Kristus, yaitu lewat kematian, untuk sampai kepada hidup kebangkitan.
Sesungguhnya Yesus dapat berhenti di sini saja. Tetapi, Ia meneruskan penjelasan-Nya berdasarkan Kitab Suci. Sebab Ia ingin menyadarkan orang-orang Saduki bahwa ketidakpercayaan mereka akan kebangkitan memang tidak berdasar.
Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam cerita semak duri – 20:37
Cara Yesus berargumentasi di sini mengherankan banyak pembaca teks ini. Sebab nas dari kitab Keluaran yang ditunjuk oleh Yesus tampaknya tidak meyakinkan. Namun, cara Yesus menangani masalah ini seharusnya menyadarkan pembaca bahwa Kitab Suci tidak boleh dibaca secara statis, seolah-olah kitab itu adalah “gudang bukti.”
Kisah yang menjadi acuan Yesus dapat dibaca dalam Kel 3:6 dan 3:15. “Kisah tentang semak duri mengacu kepada suara Allah yang didengar Musa ketika ia mendekati sebuah semak duri yang menyala tetapi tidak dimakan api, “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub.”
Di mana ia menyebut Tuhan sebagai Allah Abraham … – 20:37
Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub ialah Allah yang melindungi dan menyelamatkan mereka. Allah itu bertindak sebagai “perisai” para bapa bangsa Israel. Dia Allah yang menyelamatkan dalam cobaan-cobaan kehidupan ini. Hanya umat yang hidup dapat mempunyai Allah!
Bukan Allah orang mati melainkan Allah orang hidup – 20:38
Ungkapan “Allah si X” searti dengan “Allah yang menyelamatkan si X.” Maka, seandainya selaku “penyelamat si X,” Allah tidak mampu menyelamatkannya dari kematian, maka Ia harus dinyatakan gagal total. Sebab Ia tidak mampu menyelamatkan si X dari kemalangan yang utama, yaitu kematian. Tetapi, hal itu tidak mungkin.
Berbicara tentang Allah orang mati adalah kontradiksi! Kalau memang Allah disebut “perisai,” maka “perisai-Nya” tidak berguna sama sekali. Dengan kata lain, kalau Abraham sudah mati untuk selama-lamanya, maka jaminan yang diberikan kepadanya oleh Allah yang menamakan diri-Nya “Allah Abraham” sama dengan lelucon yang konyol. Kemungkinan semacam ini tak terbayangkan! Abraham pasti harus dihidupkan oleh Allah!
Antara Perjanjian Allah dengan umat-Nya dan kebangkitan terjalin hubungan erat sekali. Untuk benar-benar setia dalam perjanjian-Nya, Allah harus “membangkitkan” umat-Nya. Pada umumnya PL berbicara tentang perlindungan Allah semacam ini terhadap keseluruhan umat Israel. Yesus menerapkan perlindungan Allah itu pada tiga individu utama bangsa Israel.
Tetapi karena para pembaca berbudaya Yunani dapat saja tidak menangkap argumentasi ke-Yahudi-an ini, maka Lukas menambahkan penjelasan, Dia bukanlah Allah orang mati melainkan Allah orang hidup dengan kalimat berikut ini,
Sebab di hadapan Dia semua orang hidup – 20:38
Allahlah yang memberi hidup kepada Abraham. Allah yang hidup tidak pernah berhenti memberi hidup, sehingga Abraham maupun para bapa bangsa lain tetap menikmati hidup sejati. Tetapi, bukan hanya mereka saja, melainkan semua orang yang dianggap layak. Kalau orang-orang beriman tidak bangkit, maka Allah mati. Ia tidak dapat menjadi Allah yang hidup, kalau sama seperti manusia, ia tidak berdaya terhadap kematian.
Dengan cara ini Yesus menunjukkan bahwa tidak menerima kebangkitan sama dengan tidak mengakui Allah sendiri. Iman akan kebangkitan bukan sesuatu yang fakultatif, sebab berkaitan erat dengan iman akan Allah!
Itulah sebabnya, mengapa orang-orang Israel akhirnya sampai kepada keyakinan bahwa kematian bukan akhir segala-galanya, “Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati” – kata pemazmur (Mzm 16:10). Dasarnya satu saja: Allah adalah kasih, artinya relasi.
Mungkin saja ada orang yang berpendapat bahwa kebangkitan adalah ciptaan agama demi menguatkan manusia di bumi ini yang hidupnya harus berakhir dengan kematian. Namun, umat percaya akan kebangkitan karena yakin bahwa mereka dikasihi oleh Allah yang hidup dan karena mereka sendiri mengasihi Allah yang demikian. Iman akan kebangkitan adalah keyakinan dan pengakuan: Aku telah mengalami Allah yang hidup dan berkuasa atas kehidupan; Allah yang demikian menjadi nyata dalam diri Putra-Nya, Yesus Kristus, “manusia sulung yang bangkit dari antara orang mati.” Orang yang sungguh-sungguh hidup demi Allah, tidak perlu memperdebatkan kebangkitan. Mereka pasti akan mengalaminya – biar secara tidak jelas – dalam kehidupan ini pula.