XX. KELUARGA KUDUS
- Di tahun 1892, Paus Leo XIII mengeluarkan surat apostolik berjudul Neminem Fugit, yang menyatakan bahwa keluarga-keluarga Kristiani perlu mengikuti teladan Keluarga Kudus di Nazaret dan menimba kebijaksanaan dan nilai-nilai kebajikan daripadanya. Keluarga Kudus Nazaret, yaitu Yesus, Bunda Maria dan St. Yusuf menjadi teladan keluarga bagi kita, dalam membina nilai-nilai keutamaan ini. Betapa pentingnya agar anak-anak menerima nilai-nilai keutamaan Kristiani melalui perkataan dan sikap keteladanan orangtua. Sebab nilai-nilai tersebut lah yang kemudian membentuk karakter anak, yang dapat menentukan apakah ia kelak dapat menjadi seorang yang beriman teguh dan mempunyai perhatian dan belas kasih kepada sesamanya.
- Paus Leo XIII berkata, “Kepada semua bapa, St. Yusuf sungguh adalah teladan terbaik bagi peran kebapaan dalam melindungi dan memelihara keluarga. Dalam diri Perawan tersuci Bunda Allah, para ibu dapat menemukan contoh istimewa tentang kasih, kesederhanaan, kerendahan hati dan iman yang menyempurnakan. Dan dalam diri Kristus, yang taat kepada orangtua-Nya, anak-anak memperoleh pola ilahi tentang ketaatan yang dapat mereka kagumi, hormati dan teladani.” Demikian pula, setiap keluarga dengan latar belakang yang berbeda—baik yang berada maupun yang hidup pas-pasan—dapat menimba kebijaksanaan hidup dari teladan Keluarga Kudus Nazaret. “Mereka yang lahir dari kalangan bangsawan dapat belajar dari Keluarga bangsawan ini, bagaimana untuk hidup sederhana dalam saat-saat kelimpahan dan bagaimana untuk tetap mempertahankan martabat dalam kesesakan. Mereka yang kaya dapat belajar bahwa kepantasan moral lebih berharga daripada kekayaan. Para pekerja dan semua yang disusahkan oleh mepet-nya sarana bagi keluarga mereka, jika mereka mempertimbangkan kekudusan sempurna dari para anggota persekutuan Keluarga ini, tidak akan gagal untuk menemukan sejumlah alasan untuk bersukacita dalam keadaan mereka, daripada menjadi semata tidak puas diri. Seperti halnya dengan Keluarga Kudus, mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yusuf harus ikut serta dalam perdagangan, agar hidup; bahkan tangan-tangan ilahi Yesus bekerja sebagai tukang. Tidaklah mengherankan, bahwa orang-orang yang terkaya, jika benar-benar bijaksana, menjadi rela untuk mengesampingkan kekayaan mereka, dan memeluk kehidupan yang miskin bersama Yesus, Maria dan Yusuf…” (Paus Leo XIII, Neminem Fugit).
- Dengan merenungkan kehidupan Keluarga Kudus Nazaret kita dikuatkan akan panggilan hidup kita masing-masing, yang tak pernah terlepas dari keluarga. Mari belajar dari Yesus untuk menempatkan urusan Allah Bapa di tempat utama namun juga untuk menaati orangtua kita, atau pemimpin kita. Mari belajar dari St. Yusuf, untuk selalu setia menjaga dan melindungi keluarga; dan dari Bunda Maria untuk senantiasa mengasihi dan melayani keluarga. Terutama juga, mari mengikuti teladan Bunda Maria, untuk menyimpan semua perkara dalam hati dan merenungkannya (lih. Luk 2:51), sabar, lekas mengampuni dan penuh kasih (lih. Kol 3:12-14).
- Namun tantangan bagi keluarga-keluarga beriman tak kalah hebat. Begitu pesatnya alat komunikasi, gaya hidup, media digital, hedonisme, konsumerisme, dan individualisme benar-benar menggoyahkan ketaatan dan kesetiaan kepada keluarga maupun kepada Allah. Bersyukurlah kita memiliki model keluarga yang masih bisa kita teladani, yaitu Keluarga Kudus Nasaret. Keluarga yang memancarkan keramahan, kelembutan, ketaatan terhadap karya Allah, kesederhanaan, kesetiaan yang bisa menjadi sumber inspirasi bagi keluarga kita.
MS – Senin, 20 Mei 2019