3.Dalam Sakit dan Sehat, Miskin dan Kaya Terarah Pada Kemuliaan Allah
Inilah pengalaman Faustina tentang penderitaan dan kemalangan: “Penderitaan, permusuhan, penghinaan, kegagalan, dan kecurigaan yang menghadang jalanku adalah ibarat serpihan-serpihan kayu yang membuat api cintaku bagi-Mu, o Yesus, tetap berkobar” (BHF 57). Bagi Faustina, “penderitaan adalah suatu rahmat yang besar; lewat penderitaan, jiwa menjadi seperti Juru Selamat; dalam penderitaan, cinta menjadi kenyataan; semakin berat penderitaan, semakin murnilah cinta” (57).
Tentang sakit yang dialaminya, Faustina menuliskan pengalamannya: “Dalam penyakit yang sekarang ini, aku ingin memuliakan kehendak Allah … akan melambungkan syukur kepada Tuhan Allah atas setiap duka dan penderitaan” (BHF 743). “ … ubahlah aku menjadi diri-Mu sendiri sehingga aku dapat menjadi alat yang berharga dalam memaklumkan kerahiman-Mu” (783). Faustina bersyukur atas penyakit yang dideritanya (784), menyatukan diri dengan Yesus yang tersalib (1201), menyambut kematian dengan penuh sukacita (1679).
Refleksi:
Kita ini manusia yang sangat rapuh. Ketika kita sakit, menemui penderitaan, dan kegagalan, kita mudah mengeluh, berontak terhadap Allah, bahkan menyalahkan dan mengancam Allah, menyalahkan orang lain. Pantaskah kita bersikap demikian? Kalau kita bercermin pada St. Faustina, seharusnya malu. Kita nampak kurang beriman dan tidak mengandalkan Allah.
Jika kita kembali ke TUJUAN HIDUP, seharusnya sakit, penderitaan, kegagalan, dan penghinaan menjadi sarana untuk memurnikan iman kita, meneguhkan cinta kita kepada Allah. Seharusnya menjadi sarana untuk meneguhkan, menghibur iman dan pengharapan orang lain. Dalam sakit maupun sehat, miskin maupun kaya, penderitaan maupun kebahagiaan, pilihan kita hanyalah memuliakan Allah.
M.Sri, 25.4.18