JALAN TERJAL MENUJU KESEMPURNAAN

1. Pengantar

Ketika Faustina berusia 7 tahun, dia merasakan panggilan Tuhan untuk hidup sempurna. Pada waktu itu hidup sempurna berarti masuk biara. Baginya tidak mudah untuk masuk biara karena orang tuanya miskin, dan melarang Faustina untuk masuk biara karena tidak mampu menyediakan biaya untuk perlengkapan masuk biara. Untuk membantu orang tuanya, Faustina bekerja sebagai pembantu rumah tangga, agar bisa masuk biara.
Sejak merasakan ada panggilan dalam jiwanya tersebut, Tuhan mulai bicara dengan Faustina. Kristus mendesak agar ia segera masuk biara, dan tidak bisa ditunda lagi. Dengan perjuangan yang berat, Faustina, akhirnya, diterima dalam biara Santa Perawan Maria Kerahiman Ilahi. Hatinya mengalami sukacita yang begitu meluap. Tetapi justru mulai dalam biara itulah, Faustina mengalami penderitaan yang dahsyat sampai akhir hidupnya.
Dalam tulisan berikut akan disampaikan penderitaan, baik jiwa maupun raga, yang dialami oleh Faustina. Pertanyaan bagi kita: sejauh mana kesulitan, penderitaan yang kita alami membentuk kepribadian kita untuk menjadi sempurna dan menyatu dengan Allah dalam diri Yesus Putera-Nya?

2. Penderitaan justru disebabkan oleh teman-teman suster dalam biara.

Selama dalam biara, Faustina mengalami penderitaan yang hebat yang datang dari teman-teman suster sendiri:

    • Selama dalam biara, Faustina merasa ditinggalkan, disalah tafsirkan, tidak dipercayai, dan dikatakan hidup dalam ilusi (BCH 38).
    • Ia dianggap sebagai orang yang berkayal dan histeris (125).
    • Para suster menghakimi Faustina. Ia dicurigai, diawasi ibarat pencuri, bahkan tempat tidurnya banyak kali diperiksa. Para Superior merendahkan Faustina, sehingga ia sampai pada keraguan (128).
    • Ia menjadi tumpahan amarah dan perendahan. Rasa takut menguasainya. Namun ia mengalami penghiburan dari Tuhan: “Jangan takut, Aku menyertaimu.” Faustina memiliki semangat baru lagi untuk berani menderita (129).
    • Faustina mengalami perendahan yang dilakukan oleh seorang muder tua (133).
    • Mendapat perlakuan yang tidak adil sewaktu di rawat di rumah sakit (149).
    • Ketika bekerja di dapur, ia dimarahi dan dihukum, dipermalukan dan direndahkan (151).
    • Ia dicela karena pekerjaannya (181).
    • Ia disakiti oleh suster lain, dikritik dengan penuh dengki (182).
    • Ia dikerjai oleh teman suster (196).
    • Ia dituduh munafik dan tidak percaya kepada Yesus (200).
    • Ia dituduh secara tidak adil (289).
    • Ia menerima banyak celaan, senyum sinis yang harus diterima (662).
    • Ia mengalami penderitaan hebat karena merasa ditinggalkan oleh Tuhan dan Pembimbing Rohani (1161).
    • Di ruang makan sering menjadi sasaran kecurigaan karena dianggap pilih-pilih makanan (1431).
    • Memulai tahun baru, ia mengalami penderitaan berat karena penyakitnya yang semakin parah: batuk berat dan rasa sakit pada usus yang membuat tenaganya habis (1451).
    • Ia terjerembab dalam penderitaan karena mengatakan kebenaran. Kebenaran ditindas dan dimahkotai duri (1482).
    • Dalam penderitaan hanya sedikit sahabat yang datang. Bila sakit sampai lama, mereka pelan-pelan meninggalkan Faustina, bahkan mencela (1509).
    • Ketika kesehatannya begitu buruk, ia diminta oleh suster asisten untuk ke pintu gerbang menyampaikan pesan, padahal hujan sangat lebat. Ia sadar, bahwa Allah tahu masalah ini (1510).
    • Seorang suster menganiaya dengan menyalahkan dan mencemoohkan ilham-ilham yang Faustina terima (1527).
    • Sakit badan yang dahsyat, tetapi dikatakan manja oleh dokter. Ia dibawa ke dokter lain karena kondisi phisik semakin parah (1634).
    • Derita semakin meningkat karena luka-luka pada tangan, kaki dan lambung. Ia merasakan keganasan musuh jiwa (1646).
    • Kamar tempat terbaring sangat diabaikan. Tidak dibersihkan lebih dari dua pekan. Tidak ada yang mau menyalakan api pemanas (1649).

3. Sikap Faustina dalam menghadapi penderitaan

    • Menghadapi penderitaan yang dahsyat, Faustina merasakan sengsara Tuhan dalam tubuhnya. Faustina bersuka cita karena Yesus menghendaki demikian (46)
    • Bagi Faustina, penderitaan adalah suatu rahmat yang sangat besar – menjadi seperi juru selamat . Dalam penderitaan cinta menjadi kenyataan (57).
    • Dalam penderitaan, ia menyadari kerapuhannya, namun selalu mengandalkan kerahiman Tuhan (66).
    • Ia mendapat penghiburan dari Tuhan: “Jangan takut, putri-Ku; Aku menyertai kamu.” Jiwa Faustina mengalami sukacita (103).
    • Dalam penderitaannya, ia tidak pernah mengabaikan Komuni Kudus (105).
    • Ia tidak takut terhadap penderitaan dan tetap setia kepada Allah (106).
    • Derita jiwa yang ia alami merupakan karya Allah (110).
    • Madah yang menyenangkan dari jiwa yang menderita. Seluruh surga bersukacita atas jiwa seperti itu (114).
    • Ketika sedang menderita tidak perlu menambahkan penderitaan orang lain. Dalam biara justru ada suster yang menambahkan penderitaan itu (117).
    • Ia ingin menanggung penderitaan dengan berdiam diri dan tidak memberi penjelasan (126).
    • Faustina membiarkan Tuhan bertindak dalam jiwanya (134).
    • Ia harus menanggung penderitaan sebagai silih untuk komunitasnya (190).
    • Dalam penderitaan, ia tidak membutuhkan penghiburan, karena kehendak Tuhan menjadi tujuan hidupnya (195).
    • Dalam penderitaan ia tidak mencari bantuan pada ciptaan. Ia mempersenjatai diri dengan keheningan dan kesabaran. Tuhanlah kekuatannya (209).
    • Ia menderita tanpa mengeluh, karena akan membawa penghiburan bagi orang lain (224).
    • Ia bersyukur atas penghinaan yang ia terima dan berdoa bagi orang yang merendahkannya (243).
    • Dalam menghadapi penderitaan, ia sabar, tenang karena segala sesuatu akan berlalu (253).
    • Ia mencintai penderitaan (276).
    • Justru pada saat menderita, Faustina lebih mengalami sukacita. Kalau banyak menderita akan banyak kesempatan untuk menunjukkan cinta kepada Allah (303).
    • Ia mempersatukan penderitaannya dengan penderitaan Yesus dan mempersembahkan untuk pertobatan jiwa-jiwa (323).
    • Bagi Faustina, penderitaan adalah harta terbesar di dunia ini. Penderitaan mampu memurnikan jiwa. Dalam penderitaan akan mengetahui siapa sahabat sejati (342).
    • Faustina bersyukur atas segala penderitaannya dan bersyukur atas tindakan Yesus (343).
    • Ia selalu menggabungkan penderitaannya dengan penderitaan Yesus (349).
    • Baginya, penderitaan adalah lagu yang paling merdu di antara semua lagu (385).
    • Karena kesatuannya dengan Allah, maka penderitaan tidak lagi mendatangkan kepedihan apa pun (455).
    • Dalam penderitaan jiwa atau raga, ia berusaha tetap diam. Kekuatan mengalir dari sengsara Yesus (487).
    • Ia ingin menderita dan dibakar dengan nyala kasih-Nya (507).
    • Faustina yakin bahwa akhir dari penderitaan adalah kekekalan (578).
    • Ia mendengar Yesus yang mengatakan: “Penderitaan akan menjadi tanda bagimu bahwa Aku menyertaimu” (669).
    • Bagi Faustina: lebih manislah baginya siksaan, penderitaan, penganiayaan … daripada popularitas, pujian dan penghargaan karena kehendaknya sendiri (678).
    • Di tengah siksaan, ia mengarahkan mata kepada Yesus yang tersalib. Ia tidak mengharapkan pertolongan manusia. Ia hanya menaruh harapan hanya kepada Allah (681).
    • Faustina mencintai penderitaan dan ingin meneguk piala penderitaan sampai tetes terakhir (697).
    • Ia menyatukan penderitaannya dengan penderitaan Yesus (740).
    • Ia bersyukur atas setiap duka dan penderitaan (743).
    • Ia sangat merindukan sengsara dan penderitaan (761).
    • Penderitaan adalah thermometer yang mengukur kasih pada Allah (774).
    • Penderitaan, rasa sakit yang menyayat, semuanya demi orang berdosa yang malang (875).
    • Ia memohon penderitaan yang disukai Tuhan. Ia tidak takut penderitaan karena telah menerima komuni (876).
    • Faustina yakin bahwa Allah mengasihi orang yang menderita. Ia akan mati dengan suka cita (963).
    • Dua tahun menderita batin. Penderitaan telah mendatangkan kemajuan yang lebih besar (981).
    • Dalam beban derita yang melampaui kekuatannya, ia lari kepada Hati Kudus: “Engkau dapat melakukan segala sesuatu” (1033).
    • Di tengah siksaan, ia menatap Allah dan terciptalah keheningan di dalam hati (1040).
    • Tuhan berkata: “Engkaulah kelegaan-Ku ditengah siksaan-siksaan yang mengerikan (1058).
    • Ia mohon pertolongan Tuhan saat sulit, pencobaan, dan penderitaan yang menghimpit jiwa dan raganya. Ia tidak mengeluh (1065).
    • Di tengah penderitaan jiwa dan raga, ia berkata: terjadilah kehendak-Mu (1204).
    • Dalam penderitaan dan siksaan, ia berusaha setia. Kapan saja dan dalam hal apa saja, jantung berdenyut hanya agi Tuhan (1235).
    • Dalam penderitaannya, Faustina mohon supaya tidak menjadi penyebab penderitaan orang lain (1349).
    • Ia ingin menyerupai Yesus yang bersengsara. Ia mohon supaya seluruh sengsara-Nya menjadi bagian dari hidupnya (1418).
    • Ia melihat Yesus dalam penderitaan-Nya. Hal ini merupakan pelajaran bagaimana harus bersikap dalam penderitaan (1467).
    • Dalam penderitaan tidak bisa berdoa apa pun. Hanya bisa berserah kepada Allah (1204).
    • Dalam penderitaan dan siksaan, ia berusaha setia. Kapan saja dan dalam hal apa saja, jantung berdenyut hanya bagi Tuhan (1235).
    • Dalam penderitaannya, Faustina mohon supaya tidak menjadi penyebab penderitaan orang lain (1349).
    • Ia ingin menyerupai Yesus yang bersengsara. Ia mohon supaya seluruh sengsara-Nya menjadi bagian dari hidupnya (1418).
    • Ia melihat Yesus dalam penderitaan-Nya. Hal ini merupakan pelajaran bagaimana harus bersikap dalam penderitaan (1467).
    • Faustina menggabungkan penderitaan-penderitaan kecil dengan sengsara Yesus yang pedih (1512).
    • Menyatukan penderitaan, kepahitan dan sakratul maut dengan sengsara-Nya yang kudus. Saat-saat terakhir hidupnya, kerahiman Tuhan menjadi segala-galanya (1574).
    • Tuhan memerintahkan untuk menuliskan semua penderitaan ini untuk penghiburan jiwa-jiwa lain yang mengalami penderitaan yang sama (1635).
    • Waktu Minggu Palma, Yesus membuat Faustina memahami penderitaannya. Dengan merenungkan sengsara Tuhan, jiwanya memperoleh keindahan (1657).
    • Kesukaan hati Faustina adalah: menderita demi Kristus. Ia mohon agar penderitaannya diperpanjang. Ia ingin memuliakan Allah dalam kesendirian, kegelapan, kesusahan, ketakutan dan penderitaan (1662).
    • Dalam penderitaan yang paling memuncak, ia hanyalah menyerahkan diri pada kehendak Allah (1697).
    • Ia memohon kekuatan Tuhan untuk menanggung penderitaan sehingga tidak memperlihatkan wajah yang masam ketika minum piala (1740).

Kesempurnaan yang didambakan

Bagi Faustina, kesempurnaan ialah bila ia berada dalam kesatuan mesra dengan Allah (457). Apa pun tak akan menghalangi Faustina untuk bersatu dengan Allah. Jiwanya bagaikan tabernakel tempat Hosti yang hidup tersimpan. Faustina menulis: “Aku tidak mencari kebahagiaan di luar batinku sendiri karena di sinilah Allah bersemayam.” “Aku bersukacita bahwa Allah bersemayam di dalam diriku; di sini aku senantiasa tinggal bersama Dia; di sinilah aku mengalami hubungan yang paling mesra dengan Dia; di sini aku merasa aman karena tinggal bersama-Nya … (454).
Kesatuan dengan Allah merupakan kekuatan untuk menderita. Bagi Faustina, penderitaan hanya menyentuh permukaan (480). Maka penderitaan sebesar apa pun menjadikan dia makin menyerupai Yesus yang menderita.
Bagi kita, hendaknya penderitaan, penghinaan, caci maki yang kita terima menjadikan kita semakin beriman dan semakin bersatu dengan Allah. Semoga jiwa Kristus yang menyatu dengan jiwa Santa Faustina juga menjadi jiwa kita.

 

Green Lake City, 3 Oktober 2017