(7) TUJUAN HIDUP

“Kalau engkau percaya Tuhan yang menciptakanmu, mengapa kamu tetap berkeras hati dengan dengan tujuan hidupmu, bukan tujuan Tuhan atas hidupmu?

”Renungan utama dalam retret ini mengenai tujuan hidup; yakni tentang memilih cinta: jiwa harus mencintai; ia mempunyai kebutuhan untuk mencintai. Jiwa harus mengalihkan arus cintanya, bukan kepada lumpur atau kepada kesia-siaan, tetapi kepada Allah. Betapa aku bersukacita ketika aku merenungkan hal ini karena aku merasakan dengan jelas bahwa Ia sendiri berada di dalam hatiku. Hanya Yesus sendiri yang ada di sana! Aku mencintai mahkluk sejauh mereka membantuku untuk bersatu dengan Allah. Aku mengasihi semua orang sebab aku melihat gambar di dalam mereka.” (BCH 373)

Pokok renungan:

Pada awal retret, seorang pembimbing selalu bertanya: “Apa tujuan hidupmu?” Para peserta, anak-anak SMA, akan menjawab: “Tujuanku punya uang banyak, punya mobil, rumah dan pekerjaan yang baik.” Jawaban khas anak-anak muda yang penuh gairah dan semangat. Para religius akan menjawab: “Untuk memuji, mengabdi dan memuliakan Allah.” Jawaban klise khas religius. Tetapi masalahnya adalah bagaimana mereka ini menghayati tujuan hidup itu dalam keseharian dan memperoleh keselamatan surgawi.

Kepada Faustina, Tuhan mengatakan: “Aku akan menjadi tujuan akhirmu” (BCH 295). Yesus hanya satu-satunya yang boleh berada dalam jiwa Faustina: “Jangan mengandalkan ciptaan-ciptaan bahkan dalam hal-hal yang paling kecil … Aku ingin sendirian di dalam jiwamu.” (BCH 295). Faustina sadar akan tujuan hidupnya: “Allah adalah tujuan akhir hidupku dan dengan demikian, dalam apa pun yang aku kerjakan,aku selalu memperhitungkan Allah” (BCH 1329). Untuk sampai pada tujuan akhir itu, Faustina selalu berjuang melalui pintu sempit untuk “bersatu erat dengan Allah lewat kasih” (BCH 729). Ia selalu siap mengalami sengsara dan derita yang paling puncak sekali pun asal hal itu membawa kepada kesatuan dengan Allah dalam kasih.

Bagaimana dengan kita? Secara teori kita tahu tujuan hidup kita, tapi kita mudah terbelokkan oleh godaan-godaan duniawi, lemah dalam pencobaan, dan lebih menyukai hidup dalam dosa. Ketika kita mengalami krisis kehidupan, maka kita juga mengalami krisis iman: mulai mempertanyakan keberadaan Allah, kerahiman Allah bahkan acuh tak acuh terhadap SabdaNya dan Sakramen- sakramen Gereja.

Kita berusaha agar doa, Sabda dan sakramen-sakramen mampu mengubah hidup kita. Rahmat dan pertolongan Allah akan memampukan kita untuk sampai pada Rumah Bapa.

 

(MS)