(1) KERENDAHAN HATI ALLAH YANG MEMPESONA
“Kerendahan hati adalah kerelaan untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan dan ketaatan untuk melakukan kehendakNya.”
”Kadang-kadang, berjam-jam jiwaku tidak sadarkan diri karena takjub menyaksikan keagungan Allah yang tak terbatas yang merendahkan Diri begitu rendah ke tataran jiwaku. Tak kunjung henti pesona batinku bahwa Tuhan yang mahatinggi berkenan akan daku dan membeberkan jati diriNya kepadaku. Dan aku membenamkan diri bahkan lebih dalam lagi ke dalam kehampaanku sebab aku tahu siapa diriku. Tetapi, aku harus berkata bahwa sebagai tanggapan, aku mengasihi Penciptaku dengan setiap denyut jantungku dan setiap gerak sarafku; tanpa sadar jiwaku membenamkan diri, membenamkan diri…di dalam Dia. Aku merasa sekarang maupun masa yang akan datang. Segala sesuatu akan berubah, tetapi kasih tidak pernah, tidak pernah berubah; ia selalu sama. Dia, Allah yang kuat dan kekal, membuat kehendakNya aku kenal supaya aku dapat mengasihi Dia secara sangat istimewa, dan Ia sendiri membuat jiwaku mampu mengasihi Dia sesuai dengan kehendakNya. Aku mengubur diriku sendiri makin hari makin dalam di dalam Dia, dan aku tidak takut akan suatu pun.” (BCH 947a)
Bacaan Kitab Suci: “Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, …. telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:5-8).
Pokok Renungan:
Kerendahan hati Allah sungguh dahsyat: Ia menjadi seorang hamba dalam diri Yesus, yang sama dengan manusia, taat sempurna pada kehendak Bapa, dan sudi mati di kayu salib (Flp 2:5-8). Jalan ini ditempuh, agar kita mengikutiNya dan menjadi serupa dengan Dia, dan mendapatkan keselamatan. St. Faustina mengambil jalan Yesus: menjadi hamba, mengosongkan diri secara total, taat sempurna pada kehendak Allah.
Tuhan Yesus sangat berkenan dengan kerendahan hati St. Faustina. Yesus menemukan kenikmatan dalam jiwa St. Faustina yang murni dan rendah (BCH 532). Faustina hanya bisa takjub menyaksikan keagungan Tuhan yang merendahkan diri begitu rendah ke tataran jiwanya (BCH 947). Semakin Allah meresapi jiwa Faustina, ia semakin membenamkan diri dalam Dia, semakin mengasihi Dia (BCH 947), dan menyatukan dirinya dengan sengsara Tuhan.
Demi mewujudkan kerendahan hati, St. Faustina ingin: bersuka cita karena direndahkan (BCH 270),0 menjadi bunga violet yang mungil di balik rerumputan (BCH 591), bersikap seperti apa adanya (BCH 1503), selalu menyadari kelemahannya (BCH 56. 264), ingin selalu menyembunyikan penderitaan, ingin tidak dihargai, ingin ikut serta dalam penderitaan orang lain (BCH 57), siap melayani para suster, tidak membicarakan orang lain yang tidak hadir, bersuka cita atas keberhasilan orang lain (BCH 241), menyembunyikan diri dari pandangan orang (BCH 255), dan selalu tergantung seutuhnya pada kehendak Tuhan.
Perlu ditambahkan juga refleksi Ibu Theresa dari Kalkuta tentang cara menggapai kerendahan hati, antara lain: menerima hinaan dan caci maki, menerima perasaan tidak diperhatikan, dilupakan dan dipandang rendah, menerima celaan walaupun tidak layak menerimanya, tidak ingin untuk dikagumi dan dicintai, bersikap mengalah dalam perbedaan pendapat, selalu memilih yang paling sulit.
Bagaimana penghayatan kita tentang kerendahan hati seperti diteladankan oleh Santa Faustina dan Santa Theresa dari Kalkuta?
(MS)