SABDA, Jumat, 10-3-2017, MENJADI SEMPURNA, SAMA SEPERTI BAPA YANG DI SORGA ADALAH SEMPURNA

BACAAN

Yeh 18:21-28 – “Adakah Aku berkenan kepada kematian orang fasik? Bukankah kepada pertobatannya Aku berkenan, supaya ia hidup?”
Mat 5:20-26 – “Pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu”

 

RENUNGAN

  1. Tuhan bersabda: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Parisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Ayat tersebut (ay 20) merupakan kunci umum untuk memahami Mat 5:20-48. Cita-cita hidup beragama orang-orang Yahudi pada waktu itu adalah “menjadi benar di hadapan Allah.” Ukuran benar di hadapan Allah: ketika mereka berhasil menjalankan semua norma hukum secara teliti dan ketat sampai sekecil-kecilnya. Tentu hal ini menjadi beban berat sekaligus penindasan legal, karena memanglah sukar dan hampir tidak mungkin untuk mewujudkannya. Karena hal inilah, Matius mengambil kata-kata Yesus tentang kebenaran untuk menunjukkan bahwa setiap murid Kristus harus melebihi kebenaran orang-orang Parisi.
  2. Menurut Yesus, menjadi “lebih benar” tidak akan terwujud hanya dengan melaksanakan hukum, tetapi karena Allah yang mengasihi kita lewat Yesus PuteraNya. Karena Yesus, maka kita diangkat menjadi anak-anakNya. Yesus mempunyai cita-cita baru bagi setiap anak Allah: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Dari cita-cita tersebut, kita dianggap benar di hadapan Allah ketika kita mencoba bertindak sebagaimana dibuat oleh Allah, yaitu menerima dan mengampuni orang-orang sebagaimana Tuhan menerima dan mengampuni saya, kendati segala kekurangan dan dosa-dosaku.
  3. Selanjutnya Yesus menyampaikan lima (5) contoh konkret bagaimana kita memperoleh kebenaran yang lebih besar yang melampaui kebenaran para ahli Kitab dan orang-orang Parisi. Pertama: “Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum” (Kel 20:30). Hukum baru yang ditanamkan Yesus adalah: barangsiapa marah, mengatakan kafir, dan jahil kepada saudaranya harus dihukum. Mengapa? Karena marah, benci, balas dendam, menghina, meremehkan merupakan akar penyebab pembunuhan. Perlu diperhatikan bahwa dalam diri kita sudah tumbuh subur bibit untuk membunuh orang lain.
  4. Allah menghendaki penyembahan yang sempurna dari setiap anak Allah: “Jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu … pergilah berdamai dahulu … lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (ay 23-24). Untuk mewujudkan agar kita menjadi penyembah yang sempurna dan bersatu dengan Allah adalah membuat rekonsiliasi (pendamaian) dengan saudara kita.
  5. ”Berdamai kembali” adalah kata kunci dalam Injil Matius (ay 25-26). Dari ungkapan ayat 25-26 menunjukkan bahwa dalam komunitas Kristen pada waktu itu, ada banyak tegangan di antara mereka. Ada kelompok radikal dengan kecenderungan yang selalu berbeda, bahkan yang satu melawan kelompok yang lain. Tak seorang pun ingin menyerah kepada yang lain; tidak ada dialog di antara mereka. Matius menerangi situasi ini dengan kata-kata Yesus tentang rekonsiliasi yang membutuhkan penerimaan, saling pengertian, dan pengampunan. Dosa kita tidak diampuni oleh Allah karena kita tidak mau mengampuni orang lain yang berdosa kepada kita.
  6. Dari Sabda hari ini: bagaimana Aku menilai keluargaku? Bagaimana aku menilai komunitasku? Berdamailah sebelum terlambat!

 

(MS)